Senin, 16 November 2009

Gangguan bicara dan Bahasa

GANGGUAN BICARA DAN BAHASA

Gangguan bicara dan bahasa adalah kelompok gangguan yang meliputi gangguan bicara dan bahasa yang menunjukkan kesulitan dalam memproduksi bunyi bicara atau masalah dalam kualitas suara.
Gangguan bahasa menunjukkan adanya ketidakmampuan untuk memahami dan atau menggunakan kata dalam konteks,secara verbal,non verbal atau keduanya.gangguan ini derajatnya bervaiasi dari tipe subtitusi sampai ketidak mampuan memahami atau menggunakan bahasa.


Penyebab gangguan bicara dan bahasa ada yang tidak diketahui dan ada yang jelas-jelas diketahui penyebabnya meliputi :


Gangguan pendengaran
Gangguan neurologis
Brain injuri seperti trauma atau stroke
Mental retardation
Kecanduan obat
Gangguan phisik seperti cleft palate
Vocal abuse or misuse (kesalahan pengucapan)
Autism

Beberapa tipe-tipe gangguan bicara

Apraxia , kesulitan merangkai bicara secara runtut dan kesulitan melakukan alat artikulasi untuk bicara.

Nonverbal Learning Disorder, kondisi neorologis ini diakibatkan dari damage pada otak hemisphere bagian kanan.
Ada 3 tiga kategori dari gangguan ini : motor, visual-spatial-pengorganisasian, sosial.
Kategori sosial bersinggungan dengan gangguan bicara dan bahasa seperti kesulitan memahami komunikasi non-verbal.


Hyperlexia, Kondisi ini termasuk kemampuan membaca jauh diatas level rata-rata untuk usia sebayanya, kesulitan memahami dan menggunakan bahasa verbal, dan kesulitan dalam melakukan interaksi timbal balik.



Auditory Processing Disorder, gangguan ini yang berpengaruh terhadap bagaimana bunyi diproses dan interpretasikan.

Stuttering, gangguan ini yang menyebabkan seseorang untuk mengulang-ulang suku kata ketika mau mengucapkan kata.
Ini biasanya dibarengi dengan mata berputar-putar, mengejapkan mata, dan hentakan kepala. Stuttering , dipengaruhi oleh factor psikologis akan tetapi bukan gangguan emosi atau nervous.


Speech and Language Delay, anak yang memiliki keterlambatan bicara dan bahasa terlambat perkembangan bicara dan bahasanya disbanding perkembangan anak pada umumnya. Hal ini dapat berkaitan dengan perkembangan kognitif , tapi tidak semua kasus seperti ini.

Perceptive-Expressive Language Disorder, perkembangan bicara dan bahasanya mengalami gangguan.


Pervasive Developmental Disorders, gangguan ini lebih dikenal seperti autism , Rett’s disorders, childhood disintegrative disorder, asperger’syndrom gejalanya dengan gangguan bicara dan bahasa.

Pragmatic Language Disorder, kesulitan menggunakan bahasa untuk digunakan komunikasi efektif dengan orang lain.


Phonological Disorder, kesulitan menggunakan bunyi bicara yang sesuai dengan bunyi yang ingin diucapkan sesuai dengan usianya dan dialek.

dampak ketunarunguan

Dampak kehilangan pendengaran

Pendengaran merupakan sensori terpenting untuk perkembangan bicara dan bahasa, berkomunikasi dan belajar.

Kehilangan pendengaran terjadi sejak lahir, dampaknya lebih serius terhadap perkembangan anak.

Kapan ketunarunguan mulai diketahui dan intervensi yang diberikan terlambat memiliki dampak yang serius terhadap perkembangan anak.



Dampak kehilangan pendengaran terhadap perkempangan anak dapat dikatagorikan Sbb :

1. Terlambatnya perkembangan
Ketrampilan komunikasi ( bicara dan bahasa) secara receptif maupun ekspresif.

2. Keterbatasan bahasa menyebabkan masalah dalam belajar sehingga rendahnya prestasi belajar.

3. Kesulitan berkomunikasi cenderung
mengarah kepada terisolasi dan
rendahnya konsep diri.

“bagaimana gambaran kita pada diri kita sendiri.”

gambaran diri mencakup diri psikologis, diri fisik, diri spiritual, diri sosial, dan diri intelektual.
Dengan demikian, konsep diri merupakan persepsi kita pada bagian-bagian tadi untuk dipadukan dan membentuk keseluruhan gambaran.

4. Mungkin berdampak terhadap kesempatan
peluang kerja.









Dampak khusus :

1. Terhadap keterbatasan kosa kata
2. Perolehan kosa kata berkembang
sangat lambat.
3. Sulit memahami kata-kata yang abstrak
seperti sebelum, sesudah, sama dengan, cemburu dsb. Juga kesulitan dengan fungsi kata seperti sesuatu , mereka, sebuah dsb.
Kesenjangan kosakata antara anak mendengar dan mereka yang kehilangan pendengaran menjadi melebar sesuai perkembangan usia.
Anak dengan kehilangan pendengaran tidak bisa menangkap bunyi tanpa intervensi.

Kesulitan untuk memahami kata yang memiliki arti ganda. Contohnya, kata rumah sakit dapat berarti rumah dan sakit .

Struktur kalaimat
Anak dengan kehilangan pendengeran memahami dan menghasilkan kalimat yang lebih pendek dan sederhana .
Kesulitan dalam memahami tulisan yang kalimatnya kompleks, seperti “guru yang mengajar matematika hari ini sakit.” atau kalimat pasif “bola itu dilemparkan oleh Mary.”


Tidak dapat mendengar kata-kata akhiran seperti an atau i , Ini mengarah pada ketidakpahaman dan kesalah pahaman pada kalimat ,kata kerja, jamak, dan dan kepunyaan.

Bicara

Anak dengan kehilangan pendengaran sering tidak bisa mendengar bunyi seperti “w”, "f," dan v, x dan oleh karena itu agak dihindari masukan bunyi-bunyi tersebut dalam bahasa mereka.

Tidak dapat mendengar suara mereka sendiri ketika berbicara.
Mampu berbicara keras atau tidak terlalu keras.
Kadang Mereka biasanya bergumam , tidak memiliki intonasi.


Prestasi akademik

Anak dengan kehilangan pendengaran memiliki kesulitan dengan semua prestasi akademik, khususnya konsep matematika.

Anak dengan kehilangan pendengaran ringan, rata-ratanya mencapai satu sampai empat tahun lebih rendah dari anak sebaya mereka yang mendengar, kecuali manajemen yang sesuai kebutuhannya sesegera mungkin diberikan.


Anak dengan kehilangan pendengaran yang berat biasanya hanya dapat mencapai kelas yang lebih rendah dari kelas tiga atau empat, kecuali pendidikan intervensi yang tepat terlaksana sejak dini.

Kesenjangan dalam prestasi akademik diantara anak pada umumnya dan anak dengan kehilangan pendengaran biasanya melebar seiring dengan perkembangan sekolah mereka.

Level prestasi berkaitan dengan keterlibatan orang tua dan kuantitas, kualitas, dan tepatnya layanan yang diterima oleh anak.





Fungsi sosial

Anak dengan kehilangan pendengaran berat, perasaan yang tersampaikan sering merasa terisolasi, tanpa teman, tidak senang di sekolah, khususnya ketika bersosialisasi dengan anak lain yang mendengar sangat terbatas.

Masalah sosial ini muncul lebih sering pada anak dengan kehilangan pendengaran ringan dari pada anak dengan kehilangan pendengaran berat.




Yang dapat dilakukan
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa anak-anak diidentifikasi dengan gangguan pendengaran yang layanannya sejak dini mungkin dapat mengembangkan bahasa (lisan dan / atau isyarat) sejajar dengan anak sebaya yang mendengar.

Jika sudah terdeteksi anak mengalami gangguan pendengaran , keluarga sebagai pusat intervensi dini, sebagai lingkungan awal dalam memunculkan kepemilikan bahasa pada anak ( mau oral atau isyarat bergantung kepada pilihan keluarga)dan mengembangkan kemampuan kognitifnya.

Seorang audiolog, sebagai bagian dari tim interdisipliner profesional, akan membantu penyusunan program intervensi yang sesuai.

bahasa dan kognisi

Bahasa dan Kognisi

Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam perkembangan kognitif ?


Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak mampu bernalar.
Pada zaman modern argumen ini mulai munculnya adanya gerakan pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I.
Dalam tes kelompok yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya ditemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an.

Akan tetapi, kemudian disadari bahwa skor tes rendah itu mencerminkan adanya defisit bahasa pada individu tunarungu sehingga sering kurang memahami yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya bila masalah bahasanya dapat diatasi.


Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes verbalnya sekitar 60 yang mencerminkan defisit bahasa,
tetapi skor rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik dalam mean-nya maupun distribusinya, bila ketunarunguan itu tidak disertai ketunaan lain.
Kecenderungan meningkatnya jumlah populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987).
Akibatnya, secara kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.

Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa bahasa.

Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966).



Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir seperti pada umumnya.

Bagaimana pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar tugas kognitif ? Hasil riset ditemukan bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu.

Jika perbedaan itu muncul, dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa.
Furth dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif lainnya.

Referensi Utama

Ashman, A. & Elkins, J. (eds.). (1994, pp. 412-422). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

Definisi ketunarunguan

Anak Tunarungu
Definisi :
Keadaan kehilangan pendengaran meliputi seluruh gradasi/tingkatan baik ringan, sedang, berat dan sangat berat, yang akan mengakibatkan pada gangguan komunikasi dan bahasa. Keadaan ini walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Klasifikasi Ketunarunguan :

Berdasarkan Tingkat Kerusakan/Kehilangan Kemampuan Mendengar

1. Ringan 20 – 40 dB
2. Sedang 40 – 60 dB
3. Berat 70 – 90 dB
4. Berat sekali 90 dB ke atas

Masalah yang Ditimbulkan Akibat Ketunarunguan
(Menurut: Arthur Boothroyd) :

1. Persepsi Auditif
2. Bahasa Dan Komunikasi
3. Kognisi Dan intelektual
4. Pendidikan
5. Vokasional
6. Masy & Ortu
7. Sosial
8. emosi

Gangguan Pendengaran bukan sejak Lahir dapat terdeteksi dengan pemeriksaan speech audiometry

Behaviorial audiometry memeriksa adanya respon anak terhadap rangsang suara-suara tertentu

Landasan Pemberian Layanan Khusus :

1. Akibat ketunarunguannya atr tidak
mengalami masa pemerolehan bahasa
2. Akibat berikutnya atr tidak berkembang
bahasanya
3. Akibat miskin bahasa atr mengalami
masalah dalam komunikasi dan belajarnya/ pendidikannya

Cat : Yang harus diingat kapan terjadi ketunarunguan tersebut




Mengatasi Berbagai Permasalahan yang Timbul Akibat Ketunarunguan :

1. Dengan memberikan keterampilan
berkomunikasi dan berbahasa
2. Dengan mengembangkan intelektual, mental,
sosial dan emosi
3. Mengembangkan seluruh aspek kecakapan
hidup
4. Kata: Ludwig Wetgenstein:
Batas bahasaku adalah batas duniaku. Berikan anak tunarungu kemampuan berbahasa dan berkomunikasi yang cukup agar dunia mereka menjadi lebih luas

Cara berkomunikasi dengan Tunarungu :

* Bicara harus berhadapan dan diusahakan
sejajar
* Harus melihat muka pembicara
* Jarak harus sesuai dengan daya jangkau
penglihatan
* Bicara wajar dan jangan dibuat-buat
* Berekspresi dan melodius
* Cahaya harus cukup terang
* Mulut tidak tertutup oleh benda lain
* Artikulasi jelas
* Kalimat sederhana
* Pemakaian Isyarat harus simultan
Bahasa dan Kognisi

Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam perkembangan kognitif ?


Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak mampu bernalar.
Pada zaman modern argumen ini mulai munculnya adanya gerakan pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I.
Dalam tes kelompok yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya ditemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an.

Akan tetapi, kemudian disadari bahwa skor tes rendah itu mencerminkan adanya defisit bahasa pada individu tunarungu sehingga sering kurang memahami yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya bila masalah bahasanya dapat diatasi.


Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes verbalnya sekitar 60 yang mencerminkan defisit bahasa,
tetapi skor rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik dalam mean-nya maupun distribusinya, bila ketunarunguan itu tidak disertai ketunaan lain.
Kecenderungan meningkatnya jumlah populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987).
Akibatnya, secara kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.

Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa bahasa.

Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966).



Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir seperti pada umumnya.

Bagaimana pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar tugas kognitif ? Hasil riset ditemukan bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu.

Jika perbedaan itu muncul, dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa.
Furth dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif lainnya.

Referensi Utama

Ashman, A. & Elkins, J. (eds.). (1994, pp. 412-422). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd